BANTEN — Pelayanan publik di Kantor Bea Cukai Provinsi Banten dipertanyakan kualitas pelayanannya oleh alat kontrol hingga menjadi sorotan, Rabu (13/4/2022). Pelayanan publik tersebut merupakan tolak ukur dan menjadi penting diperhatikan oleh dinas itu sendiri.
Atas dasar itu, Kantor Bea Cukai Provinsi Banten yang beralamat di Kecamatan Pulomerak Kabupaten Cilegon itu perlu ditinjau ulang pelayanan serta perilaku pejabatnya agar tak terjadi stagnasi dalam melakukan pelayanan di semua sektor.
Bermula saat para awak media, Yusuf dan Enggar hendak melakukan konfirmasi terkait temuannya di lapangan mengenai dugaan peredaran rokok tanpa cukai atau ilegal yang ada di provinsi Banten. Namun hingga sampai dua kali Kepala Bea Cukai atau bagian penindakan di kantor Bea Cukai masih enggan bertemu dan memberikan tanggapan.
Sekitar pukul 13.30 WIB hari Senin 11 bertamu ke kantor Bea Cukai Provinsi Banten untuk bertemu dengan Kepala Bea Cukai atau kebagian Penindakan terkait masalah temuan di lapangan mengenai dugaan adanya peredaran Rokok Ilegal.
Tiba dikantor Bea Cukai para awak media pun mengikuti prosedur layaknya bertamu seperti biasa. Kemudian, setelah itu disuruh menunggu oleh salah seorang pegawainya lantaran Kepala Bea Cukai atau bagian penindakan sedang diluar melakukan monitoring.
Setelah menunggu selama 1 Jam, barulah ada kabar bahwa beliau tidak bisa di temui dan diarahkan untuk menyimpan nomor telepon . Senin (11/04/2022). Setelah 2 hari berlalu pihak Bea Cukai tidak ada merespon atau menelpon hingga pada Hari Rabu (13/04/2022) saat ini para awak media mendatangi kembali Kantor Bea Cukai Provinsi Banten. Namun sayangnya hal serupa terjadi kembali .
Kemudian, awak media menjelaskan perihal kedatangannya kembali ke Kantor Bea Cukai Provinsi Banten kepada salah seorang pegawai di bagian surat dan menjelaskan sudah pernah menyimpan nomor telepon beberapa waktu lalu, tapi pihak bea cukai tidak merespon.
“Makanya saya datang kembali kesini, dan alhasil sama saja . Padahal saya hanya mau menanyakan terkait temuan kita tentang peredaran rokok ilegal dan bagaimana penindakan Bea Cukai terkait ini, itu saja,” ungkap Enggar.
Diketahui dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 Tentang Cukai disebutkan : Menawarkan atau menjual rokok polos atau rokok tanpa cukai terancam pidana penjara 1 sampai 5 tahun, dan/atau pidana denda 2 sampai 10 kali nilai cukai yang harus dibayar. Bila membuat, membeli, mempergunakan, menjual atau menyimpan rokok dengan pita cukai palsu bisa dikenai pasal 55 huruf a dan b, ancamannya pidana penjara 1 sampai 8 tahun dan denda 10 sampai 20 kali nilai cukai. Adapun bila menggunakan pita cukai bekas maka terancam Pasal 55 huruf c dengan ancaman pidana 1 sampai 8 tahun dan/atau denda 1 sampai 20 kali nilai cukai.
Lebih lanjut, Enggar mengatakan seharusnya sebagai pejabat publik beliau bersikap tanggap jangan sampai seperti terkesan alergi kepada wartawan. Justru bahan berita yang seharusnya di konsumsi publik harus berimbang dari berbagai sumber. Jika pejabatnya saja susah diberikan informasi, dalam hal ini pihak Bea Cukai Provinsi Banten, terus bagaimana akan menindaklanjuti permasalahannya.
“Siapa yang akan bertanggungjawab. Harus diingat bahwa wartawan dalam melakukan pekerjaannya dilindungi oleh undang-undang sebagai tolak ukur, Undang Undang no 40 tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi barangsiapa menghalang halangi tugas Pers saat melakukan tugasnya maka akan dikenakan sangsi 2 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta, ” tegas Enggar.
Hal senada dikatakan Yusuf, dirinya berharap agar pelayanan publik dikantor Bea Cukai Provinsi Banten ditinjau ulang khususnya bagi pejabatnya agar supaya ditegur oleh atasannya dan bila perlu berikan sanksi tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Saya minta Gubernur Banten atau para petinggi dari Dinas terkait agar mengingatkan kepada bawahannya agar bisa memberikan bimbingan dan mengetahui tugas fungsi Pers yang merupakan alat kontrol bagi pemerintah,” pungkasnya.
Sebelum berita ini dimuat awak media masih mencoba mengkonfirmasi pihak-pihak terkait.
Reporter : Saud/Suganda