KABUPATEN BOGOR – Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi ,Kabupaten Bogor , Jawa Barat, dinilai masih kurang tanggap untuk memberikan pelayanan pada pasien, seperti halnya di Seruni ruangan 2.11 lantai 3.
Pasien IN (36) menuturkan, akibat mengalami sakit mi’um / pendarahan terkadang merasakan nyeri yang luar biasa. Kejadian ini berawal sejak ia berobat ke Ciawi untuk kontrol ke poli kandungan pada Senin 22 Agustus 2022 yang sudah di jadwalkan dokter. Dirinya berangkat bersama suami untuk cek up ke RSUD Ciawi, sesampai disana mengambil kartu antrian untuk cek ke poli kandungan sesampai lantai 2, Ia mengalami pusing dengan keadaan darah mengucur ke celana lalu disuruh ke IGD. Tapi setelah disana hanya di suruh tiduran di kasur pasien.
“Nunggu mendingan pusingnya tidak mendapatkan pelayanan dengan obat agar pendarahannya berhenti ketika tidak di beri obat akhirnya saya kembali ke klinik poli lantai 2 ,memberikan berkas pada suster menunggu 30 menit akhirnya di berikan berkas yang di arahkan oleh suster ke laboratorium, namun ketika sampai di laboratorium suami mengambil obat di farmasi pada pukul 16:00 ternyata sudah tutup dan akhirnya suami saya kembali ke laboratorium menunggu hasil,” ucapnya.
Lanjut In, ketika mendapatkan hasil laboratorium, ia bersama suami kembali ke IGD poli guna minta tindakan penanganan pendarahan yang hingga perut sakit dan pusing lalu di beri pelayanan di infus sekalian menunggu room yang kosong.
“Salah satu perawat meminta agar suami ke Bank darah ternyata darah tersebut belum datang dari PMI,” imbuhnya.
“Sementara sehabis dari bank darah ternyata kita mendapatkan room seruni jam 17: 45 sesampai room seruni kamar 2.11 suami tanda tangan untuk pengambilan darah pada jam 18 :45,” tambahnya.
Sementara itu, Suami IN menuturkan bahwa Selasa 23/08/2022 kemarin ia ke farmasi guna mengambil obat ternyata pelayan farmasi mengatakan obat tersebut sudah tidak bisa di ambil karena sudah lewat tanggal dikarenakan pengambilan sesuai tanggal.
“Masa lewat sehari tidak bisa di ambil ,saya perlu obat ini untuk menghentikan pendarahan,tetapi suster mengatakan gak bisa ,lain kali aja kalau berobat lagi di ambil obatnya,” ucapnya.
“Ini sudah jelas bahwa pelayanan rumah sakit menolak memberikan tindakan memberikan obat pada pasien dan seharusnya pasien mendapat kelas 1 malah di berikan kelas dua,” tegasnya.
Lebih lanjut, Suami IN menjelaskan bahwa, setelah tiga hari di rawat dokter memberi tahu bahwa hari ini pulang. Akan tetapi ,seling 30 puluh menit dirinya bertanya kepada suster kenapa ini istrinya disuruh pulang apakah mendapatkan obat berhenti pendarahan.
“Lalu suster menjawab resep yang kemarin mana ,biar saya minta ternyata alasannya habis obat. Surat pun di ganti resep untuk beli obat di luar. Lalu apabila beli di luar kita bisa tapi ini maksudnya apa suratnya di ganti resep beli di luar ,hal ini melihatkan bahwa suster mengganti surat resep dokter agar beli di luar,” jelasnya meniru kata-kata suster tersebut.
Menanggapi kejadian tersebut, Memed MB.,SH mengatakan bahwa, berdasarkan penjelasan pasal di atas, jika fasilitas pelayanan Kesehatan atau tenaga Kesehatan dengan sengaja menolak untuk memberikan tindakan medis pada pasien yang berada dalam keadaan darurat maka dapat dituntut secara pidana dengan ancaman kurungan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak dua ratus juta.
“Ada sanksi bagi pihak rumah sakit yang tidak memberikan pelayanan atau menolak pelayan medis pada pasien,” ungkapnya.
Memed menegaskan bahwa, dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Menurutnya, Hal yang sama juga dipertegas dalam Pasal 85 UU Kesehatan terkait dalam hal keadaan darurat pada bencana,yang berbunyi:
“Berdasarkan Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),” terangnya.
Memed menambahkan bahwa, dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit juga dikenal istilah gawat darurat. Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 UU Rumah Sakit.
” Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf c UU Rumah Sakit, RS wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya,” imbuhnya.
“Jadi, seharusnya seseorang yang mengalami keadaan gawat darurat tersebut harus langsung ditangani oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan nyawanya. Apabila RS melanggar kewajiban yang disebut dalam Pasal 29 UU Rumah Sakit, maka rumah sakit tersebut dikenakan sanksi admisnistratif berupa (Pasal 29 ayat (2) UU Rumah Sakit) teguran; teguran tertulis; atau denda dan pencabutan izin Rumah Sakit. Selanjutnya Dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) menyebutkan bahwa tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan,” tegasnya.
Lebih lanjut dikatakan Memed, merujuk pada Pasal 17 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang antara lain juga menegaskan bahwa setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
“Mirisnya ketika disuruh pulang pasien masing keadaan pusing dan suster pun bilang nanti kita telp OB biar di anter keluar ternyata ,pembicaraan perawat tidak meyakinkan pasien hingga pasien berjalan dan di bopong oleh suami. Hingga naik mobil pun in masih dalam keadaan pusing seketika turun dari angkot IN muntah muntah dengan kepala pusing,” cetusnya.
“Harapan kami pada departemen kesehatan dan menteri kesehatan agar bisa memberikan evaluasi terhadap tindakan mau pun pelayanan terhadap RSUD Ciawi,” pungkasnya.
Sementara itu, ketika di konfirmasi Via whatsaap pihak RSUD belum memberikan tanggapan.
Sebelum berita ini di muat awak media masih mencoba mengkonfirmasi pihak-pihak terkait.
Reporter : Erick