Lebak, 1 Desember 2025 – Di tengah semarak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-179 Kabupaten Lebak, ironi mencuat. Alih-alih menjadi momen sukacita atas kemajuan, perayaan ini menjadi cermin pahit bagi masyarakat Lebak. Di usia yang semakin matang, kabupaten ini masih bergulat dengan masalah kesejahteraan dan ketimpangan kebijakan yang mencolok. Pertanyaan pun mengemuka, sudahkah pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan benar-benar meningkatkan kualitas hidup masyarakat, atau hanya menjadi retorika tanpa makna?
Kondisi memprihatinkan di desa-desa menjadi bukti nyata bahwa pembangunan belum optimal. Jalan berlumpur, jembatan reyot, dan fasilitas umum yang tidak layak menjadi saksi bisu bahwa kebutuhan dasar masyarakat belum sepenuhnya menjadi prioritas pemerintah daerah. Kontras ini sangat terasa, terutama jika dibandingkan dengan kemeriahan HUT yang seharusnya menjadi momentum refleksi dan evaluasi. Perayaan ini seharusnya merepresentasikan kemajuan, bukan menjadi pengingat akan janji-janji yang belum terpenuhi.
Di usia ke-179, Lebak seharusnya telah mencapai kemajuan signifikan dalam menyejahterakan rakyatnya. Namun, kebijakan pembangunan yang timpang dan kurang transparan menghambat terwujudnya kesejahteraan merata. Klaim keberhasilan pemerintah, yang seringkali didasarkan pada angka statistik di atas kertas, berbanding terbalik dengan realita di lapangan. Data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen desa di Lebak masih kekurangan akses jalan dan air bersih. Ironi ini mencoreng wajah pembangunan, memperlihatkan kesenjangan antara retorika dan implementasi. Alokasi anggaran yang terus meningkat setiap tahun belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pelosok, karena tidak tepat sasaran dan cenderung mengutamakan proyek-proyek besar yang kurang menyentuh kebutuhan rakyat secara langsung.
Sorotan penting perlu diberikan kepada rencana DPUPR Lebak untuk membangun fasilitas umum air bersih di 16 desa. Meski langkah ini menunjukkan perhatian terhadap kebutuhan dasar masyarakat, keberhasilannya masih dipertanyakan. Banyak desa di Lebak masih berjuang untuk mendapatkan akses air bersih yang layak dan aman, bahkan yang sudah ada seringkali tercemar akibat aktivitas pertambangan ilegal dan pengelolaan yang tidak berkelanjutan. Program ini diharapkan menjadi solusi nyata, namun implementasinya harus transparan dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, bukan sekedar formalitas. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk memastikan program ini memberikan manfaat bagi masyarakat yang membutuhkan.
Masalah ketimpangan ini diperparah oleh praktik korupsi dan pengelolaan dana yang tidak transparan, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Kasus korupsi di PDAM Lebak dan BRI cabang Lebak menjadi bukti nyata bahwa dana pembangunan dan kredit usaha rakyat diselewengkan secara sistematis, mengkhianati kepercayaan masyarakat. Dana miliaran rupiah yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan akses air bersih dan mendukung UMKM, justru mengalir ke kantong segelintir elit dan oknum pejabat. Persoalan lingkungan turut memperburuk situasi, dengan maraknya aktivitas galian C ilegal dan eksploitasi alam yang tidak terkendali. Kemudahan relokasi pedagang di pasar kota Rangkasbitung yang diklaim sebagai penataan, nyatanya belum mampu mengatasi banjir di wilayah tersebut. Belum lagi persoalan hukum dan lainnya seolah menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengurus rakyatnya. Akibatnya, masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan merasa diabaikan.
Pemandangan kontras terjadi di mana banyak warga desa harus berjalan berkilometer setiap hari hanya untuk mendapatkan air bersih, yang seringkali tercemar akibat aktivitas pertambangan ilegal, sementara dana yang seharusnya menjadi solusi atas masalah ini menghilang tanpa manfaat nyata bagi rakyat. Ironi ini menyayat hati dan menimbulkan keprihatinan mendalam, menggambarkan betapa jauhnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, antara janji dan bukti.
Ketimpangan kebijakan ini menciptakan jurang sosial yang semakin dalam, memisahkan kelompok masyarakat yang berbeda. Rakyat kecil dan warga desa yang hidup di garis kemiskinan harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, sementara para pejabat dan pengusaha dekat kekuasaan menikmati kekayaan hasil korupsi dan eksploitasi sumber daya alam. Mereka hidup dalam kemewahan dan kekuasaan, sementara rakyat kecil menanggung beban penderitaan. Di tengah pesta perayaan yang mewah, ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan di Lebak semakin menguat dan tidak menunjukkan tanda-tanda membaik, mengancam kohesi sosial, stabilitas daerah, dan keberlanjutan ekosistem. Oleh karena itu, perlu adanya upaya serius untuk mengatasi ketimpangan ini dan memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat dari pembangunan.
Selain infrastruktur dasar, sektor pendidikan dan kesehatan juga mengalami masalah serupa. Revitalisasi pembangunan sekolah-sekolah di daerah terpencil masih berjalan lambat, dengan banyak ruang kelas yang rusak dan kekurangan fasilitas pendukung. Akibatnya, kualitas pendidikan di daerah tersebut tertinggal jauh dibandingkan dengan perkotaan. Di bidang kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai masih menjadi tantangan besar. Banyak desa yang belum memiliki puskesmas atau klinik yang memadai, sehingga warga harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya tenaga medis yang bersedia bertugas di daerah terpencil.
HUT ke-179 seharusnya menjadi momentum untuk evaluasi dan reformasi kebijakan secara menyeluruh, bukan sekedar perayaan tanpa makna. Pemerintah daerah diingatkan untuk berani memberantas korupsi secara tegas dan mengarahkan anggaran pembangunan ke program yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil serta menjaga kelestarian lingkungan. Langkah ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik, memperbaiki kualitas hidup masyarakat, dan melindungi alam yang semakin terancam. Dengan demikian, perayaan HUT tidak hanya menjadi seremoni belaka, tetapi juga menjadi titik awal perubahan yang nyata.
Warga Muncang, Sastra Wijaya, menegaskan bahwa rakyat Lebak tidak butuh janji palsu dan acara seremonial yang menghambur-hamburkan uang rakyat. Mereka membutuhkan kebijakan nyata yang mampu mengatasi ketimpangan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan secara berkelanjutan. “Kami menginginkan tindakan nyata, bukan sekedar janji dan simbol semu,” tegasnya.
Sementara itu, M. Toufik, warga Cisimeut, menilai kondisi ini sangat kontras dengan kenyataan di lapangan. Ia menegaskan bahwa selama ini, citra Lebak tercoreng oleh ketidakadilan dan kerusakan lingkungan yang terus berlangsung. Rakyat Lebak menuntut perubahan nyata, bukan sekedar janji kosong yang tidak membawa dampak signifikan. “Kami berharap pemerintah berani melakukan reformasi sistem secara menyeluruh, menegakkan keadilan sosial, dan menjaga kelestarian alam. Jika tidak, perayaan HUT ke-179 ini hanya akan menjadi simbol kemunafikan yang mengukuhkan penderitaan rakyat dan kerusakan lingkungan,” tandasnya.












