JAKARTA – Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni kembali menghadapi badai kritik keras menyusul serangkaian kontroversi yang dinilai mencoreng integritas pejabat publik dan mempertanyakan efektivitasnya dalam menjaga ekologi nasional. Sorotan publik memuncak setelah bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera akhir November 2025, yang disinyalir kuat akibat deforestasi masif. Akumulasi blunder ini dinilai oleh pengamat kebijakan publik telah melampaui batas toleransi politik dan etika, sehingga memunculkan desakan mendesak agar Presiden segera melakukan reshuffle.

Menurut Agus Suryaman, Pengamat Kebijakan Publik, jejak Raja Juli Antoni dimulai dengan blunder etika pertama pada awal September 2025, ketika foto ia bermain domino bersama Azis Wellang, individu yang merupakan eks tersangka kasus pembalakan liar, viral di media sosial. Meskipun Raja Juli telah mengklarifikasi bahwa ia tidak mengenal Azis Wellang dan tidak membahas kasus kehutanan, klarifikasi tersebut dianggap tidak cukup untuk meredam kritik.

“Tindakan ini adalah blunder etika yang fatal. Terlepas dari status hukum Azis Wellang yang sempat dibatalkan, foto tersebut secara simbolik merusak citra Kementerian Kehutanan di mata publik, seolah-olah pejabat tinggi negara memiliki kedekatan dengan pihak yang terindikasi merusak hutan,” ujar salah satu anggota DPR kala itu, yang dikutip Agus.

Kontroversi simbolik ini kemudian diperparah dengan kegagalan kinerja yang berujung pada bencana ekologis yang menelan ratusan korban jiwa di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Video viral yang menampilkan ribuan kayu glondongan hanyut di Sungai Batang Toru, Sumatera Utara, menjadi bukti visual nyata kegagalan tata kelola hutan. Menanggapi bencana ini, Raja Juli mengakui bahwa kejadian tersebut merupakan cerminan adanya “kesalahan mendasar karena pengelolaan lingkungan” karena “pendulum kebijakan terlalu condong ke sisi ekonomi.”

Pengakuan ini justru memicu gelombang hujatan keras dari netizen dan masyarakat sipil, yang menilai kementerian baru “tersadar” setelah kerusakan masif terjadi dan meminta Menhut bertanggung jawab atas buruknya pengawasan deforestasi. “Komisi IV DPR RI bahkan telah menjadwalkan pemanggilan terhadap Menhut Raja Juli Antoni untuk mendalami akar masalah ribuan kayu hanyut yang ditemukan pasca-banjir,” tambah Agus.

Agus secara tegas menilai bahwa akumulasi kegagalan etika dan kinerja ini telah memenuhi syarat bagi Presiden untuk mencopot Raja Juli Antoni dari jabatannya. “Posisi Menteri Kehutanan adalah jabatan kunci untuk keberlangsungan ekologi bangsa. Ketika seorang menteri menunjukkan kelemahan etik melalui kedekatan simbolik dengan isu kejahatan hutan (kasus domino) dan pada saat yang sama menunjukkan kelemahan kinerja yang berujung pada bencana ekologis masif (banjir Sumatera), maka ia sudah kehilangan legitimasi politik dan publik,” tegasnya.

Agus juga menguatkan urgensi reshuffle ini dengan membandingkan standar pertanggungjawaban di kancah politik global. “Standar pertanggungjawaban politik global pasca-bencana sangat tinggi. Kita pernah melihat menteri di Yordania mengundurkan diri setelah kegagalan menangani banjir. Bahkan di Jerman, seorang menteri mengundurkan diri hanya karena mengambil cuti pasca-bencana besar. Indonesia dengan tragedi banjir yang merenggut nyawa hingga 700 orang dan merusak lingkungan, harus menerapkan standar pertanggungjawaban yang setara,” katanya.

“Presiden tidak boleh menunda lagi. Kegagalan mencegah deforestasi yang berujung pada bencana alam di Sumatera merupakan kelalaian fatal. Menhut Raja Juli Antoni harus dievaluasi dan dicopot untuk menjaga marwah Kabinet dan komitmen Pemerintah terhadap lingkungan hidup yang berkelanjutan,” tandas Agus Suryaman.