SERANG – Pertanyaan mengenai efektivitas Restorative Justice (RJ) sebagai solusi resolutif dalam mengurai beban pengadilan dan menjamin keadilan bagi korban semakin mengemuka. Opini dari Bintang Dwi Cahyo, salah satu mahasiswa hukum, menjadi salah satu pandangan yang cukup berpengaruh dalam diskusi ini. Ia menyampaikan pendapatnya pada Selasa, 2 Desember 2025.
Restorative Justice merupakan pendekatan penyelesaian perkara pidana yang berfokus pada proses pemulihan, bukan sekedar pembalasan. Pendekatan ini melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak terkait lainnya untuk mencari kesepakatan penyelesaian yang adil. Prinsip utamanya adalah pemulihan korban, tanggung jawab pelaku, dialog dan mediasi, serta fokus utama pada korban.
Menurut Bintang, RJ sangat efektif untuk kasus-kasus ringan seperti sengketa hutang piutang, kasus anak berhadapan dengan hukum, pengguna narkoba yang bersedia direhabilitasi, serta kasus lain yang tidak menimbulkan kerugian besar. Ia berpendapat, secara tidak langsung, RJ mampu mengurangi beban pengadilan karena proses penyelesaian di luar pengadilan biasanya lebih cepat dan biaya yang ditanggung negara bisa diminimalisasi.
Lebih jauh, Bintang menilai bahwa RJ memberikan dampak positif terhadap pelaku, karena mampu memberi efek jera sebelum proses dilakukan. Selain itu, RJ juga memberikan keadilan bagi korban melalui penetapan tanggung jawab yang tepat dari pelaku, sehingga hak-hak korban tetap terlindungi.
Sebagai mahasiswa hukum, Bintang menegaskan bahwa RJ adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan kasus-kasus ringan. Ia menambahkan bahwa pelaku memiliki hak untuk mengajukan dialog dan mediasi berdasarkan regulasi yang berlaku, seperti Perpol 8/2012 untuk Kepolisian, Peraturan Jaksa Agung RI No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Perma No. 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Keputusan mediasi sepenuhnya diserahkan kepada korban, sehingga sifatnya yang bijaksana dan fleksibel tetap terjaga.
Namun, Bintang juga menegaskan bahwa RJ tidak cocok diterapkan untuk kasus besar seperti pembunuhan, korupsi, atau pencurian besar yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri. Kasus-kasus tersebut menimbulkan kerugian besar dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai bagian dari upaya preventif dan edukatif, Bintang mengajak pihak kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya untuk lebih mengedepankan mekanisme RJ sebelum kasus dilanjutkan ke proses hukum yang lebih serius. Ia menegaskan bahwa syarat hukum RJ telah diatur secara jelas dalam berbagai regulasi, termasuk Perpol 8/2012, Peraturan Jaksa Agung, Perma No. 1 Tahun 2024, KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), serta surat edaran dan nota kesepakatan dari lembaga penegak hukum terkait.
Dengan pendekatan yang bijaksana dan berlandaskan regulasi, Restorative Justice diharapkan mampu menjadi solusi efektif dalam menyelesaikan kasus-kasus ringan, mengurangi beban pengadilan, serta memberikan keadilan yang nyata bagi korban dan pelaku.












