Oleh : Aktivis Perempuan Kabupaten Lebak Rasiani Amelia, Minggu 16 Maret 2025.
Tidak mudah mendiskusikan kepemimpinan seorang kepala daerah yang menang karena ada peran bapak sebagai penguasa.
Kemenangan Hasbi Jayabaya bagi sekelompok masyarakat adalah kabar kegembiraan, bagi sekelompok lagi kabar duka. Namun disisi lain ada juga sekelompok masyarakat yang tidak peduli siapapun Bupatinya.
Hal tersebut sudah biasa, panggung politik memang menyediakan banyak selera. Akan tetapi, hari ini masyarakat mesti ikut memperhatikan ulang ada yang perlu kita kritisi bersama terkait sikap dan kelakuan Hasbi Jayabaya usai dilantik menjadi bupati.
Kemarin di hari pelantikan yang sakral bagi Bupati tersebut seharusnya menjadi momentum Hasbi Jayabaya untuk berkontemplasi diri atas tanggungjawabnya sebagai pemimpin tingkat kabupaten yang memiliki banyak persoalan dan belum juga dapat teratasi dari zaman kepemimpinan bapaknya. Malah yang dilakukan Hasbi Jayabaya justru membuat banyak mata masyarakat terbelalak pada sikap arogannya yang ingin menghapus nama-nama PJ Bupati Lebak dalam prasasti.
Hal tersebut menggambarkan Hasbi Jayabaya menjadi Bupati hanya untuk menjaga gengsi sebagai anak kandung Jayabaya, seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa Lebak cuma milik anak keturunannya.
Rasanya kata “pengabdian” seringkali dijual oleh para politikus habis laris manis menjadi lalapan di masa kampanye, pada praktiknya jauh dari substansi pengabdian itu sendiri.
Seperti tim kemenangan Hasbi dimasa kampanye menggemborkan bahwa Hasbi telah banyak pengabdi lewat rumah aspirasi Hasbi, katanya melalui Rumah Aspirasi Hasbi sebagai anggota DPR-RI saat itu telah banyak membantu masyarakat. Padahal, hak-hak ekosob adalah hak dasar bukan semacam hadiah dari pemerintah yang baik hati atau sumbangan karena kasihan, atau bentuk kasih sayang dari sang dermawan.
Apabila rumah aspirasi Hasbi diperuntukkan untuk pemenuhan hak masyarakat hidup sejahtera, maka mestinya sejak saat itu Hasbi mulai menyadari bahwa kemiskinan di Lebak telah berlapis-lapis yang menyebabkan Lebak menempati IPM terendah di Provinsi Banten, dan di hari pelantikan itu Hasbi harus sudah membicarakan bagaimana mengatasi kemiskinan dan rendahnya pendidikan di Kabupaten Lebak, bukan malah urusi prasasti.
Selanjutnya, usai Prasasti terbitlah Plat Nomor cantik mobil milik salah seorang Lawyer di Kabupaten Lebak yang diposting di akun pribadinya. Hal ini semakin menunjukkan kacau balaunya pikiran Hasbi. Plat nomor mobil orang lebih menarik perhatiannya ketimbang jalan poros daerah di Kabupaten Lebak yang sudah antah berantah rusaknya, menariknya sampai menanyakan berapa pajak mobil orang lain, sepertinya lebih penting daripada mencari tahu ada berapa banyak kasus pelecehan seksual dan sejauh mana keadilannya untuk korban.
Kemudian muncul lagi gebrakan baru era Hasbi, yaitu dugaan adanya setiap sekolah harus membeli foto Hasbi-Amir sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak dengan dibandrol harga Rp300 ribu. Mirisnya, apabila tidak membeli nama sekolah tersebut akan digarisbawahi.
Sebetulnya tidak ada yang perlu dibanggakan dari Hasbi Jayabaya sehingga begitu penting foto itu dibeli dan dipasang di setiap sekolah, tidak ada manfaat dan kegunaan nyata untuk sekolah, dengan di panjangnya foto Hasbi di setiap sekolah tidak akan berpengaruh pada peningkatan kecerdasan siswa, justru apabila setiap sekolah diwajibkan membeli foto Hasbi-Amir adalah praktik feodal dan korupsi yang ditanamkan sejak dalam ruang pendidikan.
Hasbi-Amir beserta parajuritnya yang memiliki kewenangan di kabupaten Lebak seolah memilih sewenang-wenangnya dengan mengintimidasi sekolah jika tak bersedia membeli foto tersebut, ketimbang menekan kepada seluruh civitas akademik tingkat SD-SMA untuk menciptakan ruang aman anti pelecehan seksual.
Bukan hanya kebijakan yang ngaco, kini para aktivis dan mahasiswa sebagian tunduk di bawah keteknya, para akademisi sudah mulai terserah dengan kelakuannya, masyarakat pasrah karena tak ada daya dan upaya, para wakil rakyat juga diam kesumat. Lebak menjadi gelap dan sunyi.