ASAHAN – Ada luka lama yang kini kembali menganga di bumi Asahan. Di balik gemerlap pembangunan dan deretan bangunan megah yang berdiri di atas tanah eks HGU PT Bakrie Sumatera Plantations (BSP), ada kisah pilu tentang warisan yang dilupakan, tentang hak yang dirampas tanpa belas kasihan.
Dari berbagai keterangan dikumpulkan wartawan, Minggu (27/04), Tanah itu, pada hakikatnya, bukanlah tanah kosong tanpa sejarah. Ia adalah milik sah Kesultanan Asahan sebuah tanah warisan para leluhur, yang pada masa penjajahan Belanda hanya disewakan untuk kebun tembakau selama 75 tahun.
Bukan dijual, bukan diberikan. Perjanjian itu jelas, tercatat, dan kini terungkap kembali lewat bukti-bukti otentik yang tersimpan rapi di Arsip Nasional dan di tangan para ahli waris Kesultanan.
Namun, keadilan itu dikhianati. Tahun 1958 menjadi saksi ketika negara atas nama nasionalisasi merampas seluruh tanah milik Kesultanan Asahan.
Tanpa prosedur yang adil, tanpa kompensasi sepeser pun, tanpa penghormatan kepada sejarah yang melahirkan negeri ini.
Puluhan tahun berlalu. Tanah itu jatuh ke tangan perusahaan swasta, dan kini, setelah masa HGU berakhir, tanah warisan itu diperebutkan seolah tidak bertuan.
Pemerintah daerah berusaha mencatatkannya sebagai aset, kelompok-kelompok tani berebut menggarapnya, sementara suara Kesultanan Asahan kembali dipinggirkan, nyaris tak terdengar.
Tetapi hari ini, warisan itu tidak lagi diam. Para ahli waris Kesultanan Asahan, berbekal bukti otentik dan semangat yang membara, berdiri untuk menuntut apa yang menjadi hak mereka.
Bukan sekedar lahan, melainkan marwah, harga diri, dan sejarah yang harus dipulihkan. Spanduk-spanduk perlawanan kini terpasang di tanah leluhur mereka, suara yang selama ini dibungkam kini bergema di seluruh penjuru Asahan.
Ini bukan sekedar sengketa lahan. Ini tentang meluruskan sejarah, tentang membela hak yang terampas, tentang menghormati warisan bangsa sendiri.
Karena tanah ini bukan tanah liar. Tanah ini berdarah. Tanah ini bercerita tentang perjuangan, tentang pengorbanan, tentang janji-janji yang pernah dilanggar.
Kini publik tahu, dan publik berhak tahu. Kesultanan Asahan berjuang bukan untuk merebut, tetapi untuk mengembalikan.
Untuk memastikan bahwa sejarah tidak ditulis ulang oleh kekuasaan, bahwa hak yang diwariskan dengan darah dan air mata tidak hilang begitu saja.
Asahan memanggil hati nurani kita. Akankah kita membiarkan warisan ini kembali dikubur oleh kesewenang-wenangan? Ataukah kita berdiri bersama, membela kebenaran yang seharusnya tak pernah tergadaikan?
Karena tanah leluhur bukan untuk diperebutkan tetapi untuk dikembalikan.
Hingga kini, berkaitan dengan hal tersebut, Wartawan masih mengumpulkan informasi dari pihak-pihak terkait untuk membuka terang benderang persoalan di bumi Asahan.