KOTA KUPANG – Persoalan antara Dewan Pimpinan Wilayah Media Online Indonesia (MOI) Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Masri W.M. Ndoen, SST, M.Kes, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Puskesmas Batakte, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang kian memanas dan sedang menjadi isu hangat saat ini,
Seperti diketahui bahwa sebelumnya DPW MOI Provinsi NTT telah melakukan somasi kepada Masri Ndoen sebagai langkah hukum awal dari organisasi pers raksasa yang berkedudukan di Jakarta tersebut.
Masri diduga telah dengan sengaja melecehkan MOI dengan menyebut bahwa “Lisensi MOI ditolak di dewan pers” dan “MOI adalah organisasi yang tidak diakui oleh pers.” setelah sebelumnya dia memaksa wartawan MOI memberitahukan kepadanya siapa narasumber yang menurut dugaannya telah membocorkan teknis perlakuan Vaksin Pfizer kepada wartawan.
Sehingga dirinya menolak diwawancarai hingga narasumber yang dia maksud dibawah kepadanya. Masih menurut Masri saat itu bahwa wartawan tidak mungkin paham dengan hal teknis tentang Vaksin Pfizer sehingga dia berasumsi ada pihak internal yang membeberkan hal itu.
Hal ini terungkap dalam bukti rekaman wawancara Masri yang terdengar terus berkelit dan ngotot tak ingin diwawancarai. Bukan hanya sampai disitu saja, Masri juga meminta agar wartawan membawa legalitas/badan hukum dari MOI dan menunjukkan kepadanya.
Salah satu petinggi pers MOI di NTT, Andre Lado, SH., selaku Sekretaris DPW MOI Provinsi NTT ketika dimintai tanggapannya soal apa yang dilakukan Masri Ndoen terhadap anggota MOI tersebut mengatakan bahwa,
“Wartawan yang melakukan wawancara kepada Plh. Kepala Puskesmas Batakte itu adalah pemegang Sertifikat Kompentensi Jurnalis dari MOI Institute. MOI Institute sendiri saat ini merupakan bidang yang bertanggungjawab untuk memberikan Diklat terhadap semua wartawan Media-Media didalam MOI dan kita di NTT telah menerapkannya sejak Tahun 2020 lalu dan sekarang sementara berproses menjadi sekolah jurnalis MOI di Indonesia.” Ungkap Andre ketika dikonfimasi tim media, Pada Minggu, (13/06/2022) Via telepon selulernya.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan bahwa, Pers itu terlahir dari sebuah intelektualitas jadi tidak sembarang orang dapat menjadi bagian darinya.
“Untuk itu, kami sadar akan hal itu sehingga di MOI Provinsi NTT semuanya harus melalui Diklat selama 6 bulan baru bisa menjadi wartawan,” bebernya.
Terkait legalitas sebuah media yang bernaung dibawah bendera MOI di NTT, Andre menjelaskan itu merupakan prioritas DPW MOI Provinsi NTT dalam melahirkan pers yang sehat,
“Siapapun yang tidak berbadan hukum bukanlah bagian dari pers karena itu perintah UU Pers. Saya rasa itu sudah jelas! Sedangkan kami sendiri memiliki program subsidi badan hukum untuk media-media yang belum berbadan hukum. Program yang kami pegang ini merupakan program nasional dan diperuntukkan bagi media di seluruh Indonesia. Jika ada yang bertanya demikian arahkan saja ke Kantor DPW MOI Provinsi NTT agar mendapat penjelasan langsung dari kami.” ujar pria yang juga menjadi pengamat media tersebut.
Andre juga kembali mengingatkan kepada semua pihak supaya tidak berusaha menghalang-halangi tugas dari seorang wartawan/Jurnalis dalam mencari berita sebab ada konsekuensi hukumnya,
“Pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” pungkasnya.
Reporter : TIM MOI NTT/Ff Battileo