JAKARTA – Fenomena penggunaan joki Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kini semakin marak di berbagai daerah di Indonesia, terutama di segmen rumah subsidi. Beragam sorotan datang dari para elemen masyarakat salah satunya Pemerhati Kebijakan Publik Perumahan Rakyat, Januardi Manurung.
Menurutnya, Modus Joki ini banyak dilakukan oleh calon pembeli yang kesulitan memenuhi persyaratan perbankan akibat penghasilan rendah atau skor kredit buruk.
Bagi sebagian masyarakat tentunya menggunakan jasa joki KPR dianggap solusi cepat untuk lolos verifikasi bank. Namun di balik kemudahan semua itu, tersembunyi risiko besar jeratan hukum, kerugian finansial, hingga tekanan sosial yang berkepanjangan.
“Banyak konsumen terjebak karena tergiur janji manis joki. Padahal, tindakan ini bisa berujung pidana,” ujar Januardi Manurung, Rabu (15/10/2025) kepada Wartawan.
Ia menyatakan bahwa Joki KPR merupakan solusi Instan yang menyesatkan, karena dalam praktiknya pihak ketiga yang menawarkan jasa memperlancar pengajuan kredit rumah dengan meminjam identitas orang lain atau memanipulasi data. Tujuannya agar calon debitur lolos verifikasi bank dan dapat menikmati fasilitas rumah subsidi.
Secara hukum, praktik ini termasuk tindak penipuan dan pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP dan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait manipulasi data elektronik.
“Begitu bank menemukan adanya data palsu atau identitas ganda dalam proses KPR, mereka berhak membatalkan akad secara sepihak dan melaporkan kasusnya kepada pihak berwenang,” tegas Januardi Manurung.
Ia menceritakan Kasus serupa pernah mencuat pada 2024 di Jember, Jawa Timur. Seorang pria memalsukan 18 KTP demi meloloskan pengajuan KPR sejumlah rumah subsidi. Ia bekerja sama dengan oknum developer untuk memuluskan aksinya.
Beberapa konsumen yang tak sadar menggunakan KTP palsu itu justru ikut terseret dalam proses hukum dan kehilangan rumah yang sudah dicicil.
Selain risiko pidana, ada pula bahaya finansial yang tak kalah berat. Rumah yang dibeli melalui joki secara hukum tercatat atas nama pihak lain. Akibatnya, jika hubungan antara pembeli dan joki bermasalah, rumah bisa disita, dijual sepihak, atau bahkan tidak bisa diklaim kepemilikannya.
“Banyak korban kehilangan uang muka dan cicilan tanpa bisa menuntut karena tidak tercatat sebagai debitur resmi di bank,” terang Januardi Manurung.
Lebih jauh ia menjelaskan selain kerugian hukum dan materi, penggunaan joki KPR juga berdampak pada kondisi psikologis dan sosial korban.
“Bayangkan, Pins sudah bayar, tapi rumah disita karena nama di sertifikat bukan milik sendiri. Konflik rumah tangga, stres, bahkan depresi sering muncul karena masalah ini,” kata Januardi.
Stigma sosial di lingkungan tempat tinggal juga menjadi tekanan tersendiri. Korban seringkali dianggap bermasalah atau tidak jujur ketika diketahui terlibat dalam kasus pemalsuan data perumahan.
Menanggapi maraknya praktik ini, Januardi mendesak Bank BTN dan lembaga pembiayaan lainnya untuk lebih teliti dalam melakukan verifikasi terhadap calon konsumen yang diajukan oleh pihak developer atau marketing perumahan.
Fenomena joki KPR mencerminkan lemahnya literasi keuangan dan tekanan ekonomi masyarakat bawah untuk memiliki rumah sendiri. Namun, jalan pintas seperti ini bukanlah solusi, melainkan jebakan yang bisa berujung pada kehilangan segalanya, uang, rumah, dan kebebasan hukum.
“Bank harus memperkuat sistem background check agar tidak mudah dikelabui data fiktif. Jangan sampai kecerobohan justru menjatuhkan nama baik pengembang yang sebenarnya bekerja profesional,” tandasnya.












