Oleh : Willy H (Aktivis Demokrasi)
Gelaran Pilgub Jatim, sudah memasuki rekapitulasi berjenjang. Tentu melalui quick count dan mesin sirekap KPU (berdasarkan C1 Plano) kita sudah bisa mengetahui paslon yang memenangkan Pilgub Jatim 2024.
Lembaga survei Poltracking merilis hasil hitung cepat (quick count) untuk Pilkada Jawa Timur (Jatim) 2024. Pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak meraih perolehan suara tertinggi, sebesar 59,22%. Disusul posisi kedua pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) dengan 31,97% suara dan posisi ketiga ditempati paslon Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Hakim dengan 8,81% suara.
Populasi quick count adalah seluruh suara sah yang tersebar pada 60.751 TPS di Jawa Timur. Metode yang digunakan adalah multistage random sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 500 TPS yang tersebar secara proporsional di 38 kabupaten/kota administrasi. Quick count ini memiliki margin of error ±1,0% pada tingkat kepercayaan 95%.
Meski Risma-Gus Han kalah di Pilgub Jatim 2024 versi Quick Count dan Sirekap dan menunggu hasi resmi KPU. Namun di Kota Surabaya Risma mampu mempertahankan Surabaya sebagai basis suaranya.
Kita tahu ada dua Cagub yang asli Kota Surabaya, yaitu Risma dan Khofifah. Keduanya selain sebagai Cagub Jatim, juga pernah sama-sama menjabat sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia.
Tak hanya itu, keduanya dikenal memiliki rivalitas sebagai tokoh perempuan asli Surabaya yang menasional. Jika di potret dari keseluruhan Jawa Timur dan banyak lembaga survey mendekat coblosan, Khofifah jauh unggul secara elektabilitas dari Risma. Terbukti dalam gelaran Pilgub Jatim. Khofifah menang secara perhitungan keseluruhan Jawa Timur. Sedangkan Risma hanya menang di Kota Surabaya dan Kota Mojokerto.
Kemenangan Risma di Surabaya, menarik untuk dikaji bersama. Penulis membaca seperti ada anomali dalam kasus Kota Surabaya, karena kekalahan Khofifah di Kota Surabaya angkanya sangat signifikan. Ketokohan Khofifah yang sangat begitu kuat, dan unggul dibanyak lembaga survey namun ternyata kalah dengan Risma sangat menarik untuk dibedah bersama. Anomali apa yang menyertainya?
Setidaknya ada beberapa faktor yang menurut penulis menjadi penentu kemenangan Risma di Surabaya. Pertama adalah keberpihakan penuh Eri Cahyadi dalam memenangkan Risma-Gus Han selaku calon dari PDI-P. Kita ketahui bersama keduanya adalah kader PDI-P, ditambah lagi Risma adalah suksesor Eri-Armuji dalam gelaran Pilkada periode pertama mereka.
Eri Cahyadi juga merupakan birokrat yang dikader khusus oleh Risma hingga menjadi walikota. Disini ada semacam politik balas budi Eri Cahyadi kepada Risma ditambah intruksi partai politik PDIP. Hal ini membuat Eri Cahyadi sangat all out memenangkan Risma – Gus Han di Kota Pahlawan.
Meski Eri sering terlihat sering bersama Ibu Khofifah, namun komitmen keberpihakan Eri Cahyadi di Pilgub Jatim sangat terlihat di Risma. Terbukti dari hasil Pilgub Jatim 2024 di kota Surabaya, berdasakan real count Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur, paslon Risma-Gus Hans yang diusung PDIP berhasil meraih suara mayoritas dengan perolehan 72,1% atau 880.846 suara. Ini jauh melampaui perolehan suara paslon lainnya, yaitu Khofifah-Emil dengan 25,1% (307.013 suara) dan Luluk-Lukman dengan hanya 2,8% (34.440 suara).
Pertanyaannya, apakah Eri Cahyadi juga menggerakkan resourcenya sebagai incumbent Walikota Surabaya? Misalnya mobilisasi ASN? Dan lain-lain? Mengingat yang bersangkutan adalah calon tunggal dan potensi menang sangat besar.
Kedua, konsolidasi mesin politik PDI-P bergerak. Kita ketahui Kota Surabaya memang kandang banteng. Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur yang pasca reformasi dipimpin oleh walikota kader PDI-P selama 24 tahun (2000-2024). Kekuasan kader PDI-P selama 24 tahun menjadi walikota Surabaya mempermudah mereka memetakan lalu mengeksekusi basis basis suara untuk pemenangan Risma-Gushan.
Selain itu, kepemimpinan Said sebagai Ketua DPD PDI-P Jawa Timur, memang memposisikan Surabaya sebagai daerah utama basis pemenangan Risma dan Gus Han. Selain Surabaya adalah daerah dengan jumlah pemilih terbanyak diantara daerah lainnya.
Namun jika dilihat dari perolehan kursi Pemilu 2024 hanya mendapatkan 11 kursi, menurun 4 kursi dari sebelumnya 15 kursi di Pemilu 2019. Angka ini tidak sebanding dengan jumlah kursi dari koalisi Khofifah-Emil, 34 kursi. Gerakan 34 kursi partai ini tentunya memberi energi besar dalam proses konsolidasi kemenangan.
Ketiga, adalah sosok Risma yang memimpin Surabaya selama 10 tahun (2010-2020) juga menjadi faktor penting. Sosoknya yang dikenal luas oleh warga Kota Surabaya, sangat mudah untuk dijual (dikampanyekan). Legacy dan gaya kepemimpinan Risma selama 1 dekade masih terkenang di hati masyarakat Kota Surabaya.
Brand Awareness Risma sangat kuat, ditambah lagi dengan endorsment Eri – Armuji. Tentu endorstmen ini bisa dibaca juga sebagai endorsment Walikota dan Wakil Walikota 2025-2029.
Namun elektablilitas Khofifah yang sangat tinggi dan dukungan dari banyak ormas dan relawan, seharusnya menjadi penguat perolehan suara Khofifah-Emil di Kota Surabaya. Terlebih Risma saat maju Walikota juga sowan kepada Ibu Khofifah untuk disuport pemenangannya.
Tentu kita berharap Pilgub Jatim 2024 berjalan dengan jujur dan adil. Kita tentu dikagetkan kaitan adanya rumor dugaan banyaknya oknum jaringan penyelenggara dan pengawas pemilu yang didominasi oleh jaringan yang terafiliasi dengan salah satu partai pemenang pemilu dan pasangan calon.
Mereka diduga ikut serta dalam memenangkan salah satu paslon. Meski faktor ini perlu dikaji lebih mendalam dan harus dibuktikan. Namun jika rumor ini benar adanya dan signifikan, maka anomali kesenjangan perolehan suara Pilgub Jatim tahun 2024 di Kota Surabaya bisa jadi berkaitan dengan hal ini. Mengingat penyelenggara pemilu memiliki infrastruktur politik yang terstruktur hingga tingkat TPS.
Fenomena ada oknum penyelenggara yang ikut dalam pemenangan salah satu paslon juga terjadi masif, sebagai contohnya di Kabupaten Jember. Banyak temuan yang dilaporkan ke Bawaslu Jember terkait penyelenggara dan pengawas pemilu terlibat dalam proses pemenangan paslon. Bahkan beredar digrup, ada oknum penyelenggara pemilu di Jember menjadi timses Risma-Gus Han dengan membagi atribut kampanye.
Jujur saja penulis masih tanda tanya besar kaitan kesenjangan perolehan hasil suara Pilgub Jatim 2024, Khofifah-Emil yang terpaut jauh dengan Risma-Gus Han di Kota Surabaya. Karena dari berbagai lembaga survey elektabilitas Khofifah jauh lebih unggul daripada Risma.
Tentu praktek-praktek pelanggaran pemilu harus disikapi dengan cepat, lugas dan tegas. Seperti Bawaslu Surabaya dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur yang bergerak cepat menindaklanjuti berbagai dugaan pelanggaran, termasuk surat suara tercoblos sebelum pemilihan dan politik uang. Misalnya temuan surat suara tercoblos ditemukan di TPS 3, Kelurahan Kalijudan, Kecamatan Mulyorejo.
Tak hanya itu, Bawaslu Surabaya juga mencatat masalah krusial berkaitan distribusi logistik di beberapa TPS yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh, TPS di Wonocolo dilaporkan kekurangan hingga 300 surat suara, sementara TPS lain justru memiliki kelebihan 100 hingga 300 surat suara.
Tata kelola distribusi logistik ini harus dievaluasi agar tidak terulang pada pemilu berikutnya. Selain Bawaslu, KIPP Jawa Timur juga menemukan bahwa Kota Surabaya menjadi salah satu kota dengan temuan kasus politik uang tertinggi.
Tentu kita berharap, agar Pilgub Jatim 2024 berhasil dilaksanakan dengan jujur dan adil. Sambil menunggu keputusan resmi KPU, mari kita jaga bersama proses rekapitulasi berjenjang yang sedang berlangsung. Mari kita berdoa, siapapun yang terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dapat membawa kemaslahatan untuk rakyat Jawa Timur.